Sungai Citarum pada masa lalu sangat terjaga keasrian dan kelestariannya, namun ternyata sejarah mencatat bahwa Citarum sudah mengalami banjir di beberapa daerah sejak dahulu kala. Oleh. karena itu pada tahun 1810, Bupati Bandung saat itu, R.A Wiranatakusuma II memindahkan ibu kota Bandung dari daerah Krapyak (Dayeuh Kolot) ke daerah Bandung tengah yang bertahan hingga saat ini.
Hingga saat ini, banjir sungai Citarum masih rutin terjadi setiap musim penghujan datang. Daerah Dayeuh Kolot dan sekitarnyapun seringkali terendam banjir. Namun demikian, masalah yang ditimbulkan saat ini jauh lebih kompleks.
Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang memberikan beban berlebihan terhadap daya dukung lingkungan, semakin diperparah dengan kurang bijaknya perilaku manusia di dalam mengelola sumber daya alam seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah rumah tangga, peternakan, industri, serta penyalahgunaan tata ruang.
Jika tempo dulu sejarah mencatat keluhan masyarakat pada saat banjir hanya berupa penyakit pilek dan diare, maka kini permasalahannya jauh lebih kompleks. Selain gatal-gatal dan penyakit kulit, gangguan pernapasan juga sering timbul akibat bencana banjir, bahkan tak jarang harta bahkan jiwa juga menjadi korban dikarenakan daya rusak banjir yang jauh lebih besar.
Air datang dan naik perlahan, hingga masyarakat desa masih sempat mengemasi harta bendanya dan mengungsi, kini air datang tiba-tiba dan menyapu desa dalam sekejap. Hal ini mengakibatkan beberapa rumah rusak berat, dindingnya bahkan sebagian besar bangunan rumah ikut terbawa air.
Kondisi ini tercipta tak lain akibat kontribusi kerusakan lahan terutama di daerah hulu. Praktek teknologi pertanian dan pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan banyak terlihat di sekitar kawasan hulu.
Pertanian kentang yang banyak menyebabkan erosi dapat berakibat terjadinya degradasi lahan dan penurunan kapasitas pengaliran sungai akibat sedimentasi yang tinggi. Penanaman rumput gajah di kawasan puncak Gunung Wayang yang banyak terlihat bukan merupakan pilihan yang tepat terutama untuk kawasan lindung dengan kemiringan terjal.
Pemanfaatan rumput gajah sebagai makanan ternak yang murah telah menjadikan alasan mereka untuk mengesampingkan kaidah-kaidah kelestarian alam. Kebutuhan untuk bertahan hidup dan memperoleh penghidupan yang mencukupi telah menjadi faktor utama penentu perilaku masyarakat di sekitar kawasan hulu.
Permasalahan yang dihadapi oleh sungai Citarum saat ini cukup kompleks, hingga penyelesaian sederhana untuk satu bidang atau di lokasi tertentu saja tidak lagi memadai. Untuk itu penanganan Citarum membutuhkan perhatian dan sumbangsih semua pihak untuk ikut membantu, bersama memperbaiki kondisi yang memprihatinkan ini. Mulai dari hulu hingga hilir.
Penanganan ini membutuhkan keterpaduan nyaris di seluruh bidang. Hal ini membutuhkan kerjasama, tindakan nyata, kordinasi, konsolidasi dan komunikasi intensif di seluruh para pemangku kepentingan; pemerintah, pihak swasta dan masyarakat.
Pada Tahun 1970 s/d 80-an wilayah Baleendah 90 persen adalah daerah pertanian (persawahan). Namun pada tahun 80-an Kecamatan Baleendah direncanakan menjadi Ibukota Kabupaten Bandung. Maka dibangunlah sarana/prasarana di wilayah itu termasuk gedung DPRD yang sangat megah. Perumahan umum, tempat ibadah dan Sekolah pun dibangun disana sehingga merubah sebagian besar wilayah pertanian menjadi gedung/bangunan.
Namun banjir besar yang melanda Bandung Selatan sekitar Tahun 1986, membuat para petinggi memindahkan Ibukota Kabupaten Bandung ke Kecamatan Soreang. Sehingga gedung DPRD yang baru selesai dibangun sia sia dan terbengkalai. Tetapi saat ini ternyata gedung tersebut dijadikan Rumah Sakit.
Hampir setengah luas lahan produktif di Kecamatan Baleendah berubah menjadi gedung dan bangunan, wilayah resapan air di sekitar Sungai Citarum ini mulai berkurang. Pada Tahun 1986 terjadilah banjir besar yang menenggelamkan Kecamatan Baleendah dan dua Kecamatan yang berdekatan dengan Baleendah yaitu Kecamatan Dayeuh Kolot dan Bojong Soang.
Dalam perjalanan sejarah Sunda, Citarum erat kaitannya dengan Kerajaan Taruma, kerajaan yang menurut catatan-catatan Tionghoa dan sejumlah prasasti pernah ada pada abad ke-4 sampai abad ke-7. Komplek bangunan kuna dari abad ke-4, seperti di Situs Batujaya dan Situs Cibuaya menunjukkan pernah adanya aktivitas permukiman di bagian hilir. Sisa-sisa kebudayaan pra-Hindu dari abad ke-1 Masehi juga ditemukan di bagian hilir sungai ini.
Sejak runtuhnya Taruma, Citarum menjadi batas alami Kerajaan Sunda dan Galuh, dua kerajaan kembar pecahan dari Taruma. Citarum juga disebut dalam Naskah Bujangga Manik, suatu kisah perjalanan yang kaya dengan nama-nama geografi di Pulau Jawa dari abad ke-15. Dan sekarang banjir telah kembali lagi hal ini disebabkan beberapa hal seperti sungai yang sudah dangkal dan di bukanya beberapa bendungan yang menahan aliran Citarum.
Bojong Soang, Baleendah dan Dayeuh Kolot merupakan tiga kecamatan di Kabupaten Bandung yang menjadi langganan bencana banjir saat musim hujan tiba. Tiga kecamatan tersebut menjadi wilayah genangan air setelah Sungai Citarum meluap.
Setiap tahun banjir terjadi, disebabkan alih fungsi lahan produktif, wilayah resapan air yang semakin massif berubah menjadi pemukiman, industri, penyempitan dan pendangkalan anak-anak sungai. Selain itu, Curah hujan yang tinggi, pola kehidupan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga lingkungan kurang.
Perjalanan Banjir di Kabupaten Bandung
- Tahun 1986 terjadi banjir besar yang menenggelamkan tiga kecamatan di Kabupaten Bandung yaitu Kecamatan Bojong Soang, Baleendah dan Dayeuh Kolot.
- Tahun 1991-1992 perluasan Sungai Citarum dan banjir mulai berkurang.
- Tahun 1994 banjir datang kembali karena pembangunan terjadi dimana-mana yang mengakibatkan wilayah resapan air tertutup dan Pemerintah Kabupaten Bandung melakukan pengerukan efektif setiap 3-4 tahun sekali.
- 1997 terjadi lagi dan pengerukan sungai yang dilakukan secara berkala dirasa tidak efektif karena pembangunan terus terjadi.
- Tahun 2002 lalu berlaku siklus lima tahunan, lima tahun berikutnya banjir pasti besar. seperti pada Tahun 2007, 2010 dan 2014-2015.
Waspada Banjir Siklus Lima Tahunan
Hujan deras mulai melanda berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tempat seperti di Kabupaten Bandung dan sekitarnya terendam banjir akibat hujan deras pada bulan November Tahun 2014. Banjir ini membuat ribuan warga harus meninggalkan tempat tinggal mereka dan harus rela harta benda mereka terendam dan hanyut terbawa oleh arus banjir.
Curah hujan yang semakin meninggi adalah penyebab banjir di Kabupaten Bandung dan sekitarnya. Curah hujan tinggi yang dapat diukur dengan instrument weather station ini, menyebabkan beberapa sungai dan aliran air meluap. Luapan air tersebut masuk ke pemukiman warga Kabupaten Bandung dan menyebabkan banjir.
Hendrawan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung mengatakan, siklus banjir lima tahunan mengancam tiga kecamatan di Kabupaten Bandung. Ia memprediksi, apabila musim hujan panjang terjadi pada akhir dan awal tahun ini, daerah Bojong Soang, Baleendah dan Dayeuh Kolot akan dilanda banjir besar.
Siklus lima tahunan tersebut, terakhir terjadi pada Tahun 2010. Pada saat itu ribuan rumah terendam air dengan ketinggian empat meter. Sampai saat ini, BPBD terus mensosialisasikan hal tersebut setelah melakukan pengkajian terlebih dahulu. Untuk memantau perkembanagan bencana banjir di Kabupaten Bandung BPBD berbagi informasi dengan BMKG.
Sudah 14 hari ratusan rumah terendam banjir. BPBD meyakini banjir yang datang di penghujung 2014 ini merupakan tahap pertama dari bencana banjir yang rutin berulang setiap tahunnya.
“Ini masih awal pemanasan dari sebuah bencana banjir di Bandung Selatan. Karna kalau saya perhatikan curah hujan yang melingkupi Tahun 2014 baru mencapai 400-500 mm belum sekencang curah hujan Tahun 2010 yang mencapai 600 mm dan kemungkinan masih ada banjir-banjir susulan karena belum ada kenaikan curah hujan yang signifikan,” katanya.
Banjir yang berasal dari hujan lebat pada Jum’at (19/12/2014) dini hari, yang berlangsung beberapa jam membuat air mengenang mencapai ketinggian 1,5-4 meter di permukiman warga yang berada di bantaran Sungai Citarum
Menurut Hendrawan, kondisi tersebut diperparah dengan tingkat sedimentasi di aliran sungai yang berhulu di Cisanti atau Lereng Gunung Wayang dan bermuara di Laut Karawang ini yang melewati Kecamatan Bojong Soang, Baleendah dan Dayeuh Kolot meninggi. Hal tersebut mengakibatkan sungai menjadi dangkal.
Tiga kecamatan tersebut menjadi wilayah genangan air dan lima kecamatan menjadi pendukung atau penyumbang air yaitu Pameungpeuk, Banjaran, Rancaekek, Majalaya dan Cielunyi. “Air dari hulu-hulu sungai, baik dari Kabupaten Sumedang, Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung sendiri airnya berpusat ke satu aliran Sungai Citarum di Kecamatan Dayeuh Kolot,” ujarnya.
Pada bencana banjir tahun ini BPBD Kabupaten Bandung mengerahkan semua petugasnya yang berjumlah 32 orang dibantu petugas BPBD Provinsi berjumlah 25 orang dan 300-350 orang relawan yang tergabung dari semua elemen.
Untuk menghadapi banjir tahun ini BPBD tidak ada kekhawatiran. “Sampai kapanpun kami siap, kerja kami 2-4-7 (24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu, kami tidak mengenal kalender merah).”
Dalam pelaksanaanya, BPBD Kabupaten Bandung mempunyai sistim kerja yang terkordinir, Inside Commander merupakan sistim kerja yang dilaksanakan dengan menyatukan satuan kewilayahan TNI, Porli, Dinas terkait, relawan dan masyarakat.
Mereka yang menjadi relawan, disebarkan dibeberapa titik pos pengungsian dan kantor OPD harian. Setiap perwakilan OPD wajib hadir di kantor OPD harian dan melaksanakan peninjauan lapangan dan stanby di dapur umum.
Sementara itu, Kepala Harian Badan Penanggulangan Bencana Derah Kabupaten Bandung Marlan mengungkapkan jumlah pengungsi Banjir di tiga kecamatan tersebut mencapai 36 ribu jiwa. “Korban setiap tahunnya sama saja, tahun sekarang dan tahun kemarin tidak beda jauh. Saat ini 36 ribu rumah terendam sementara untuk yang mengungsi ada sekitar 15-16 ribu jiwa dan sisanya bertahan di rumahnya,” ungkapnya.
Gedung Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), INKANAS, Juang 24, Kantor Kelurahan Baleendah dan tenda-tenda yang tersebar di 30 titik menjadi tempat hunian sementara para pengungsi.
“Karena Kabupaten Bandung belum punya tempat pengungsian yang respentatif, tidak punya selter yang lebih baik, jadi para korban banjir diungsikan hunian sementara dan meminjam gedung-gedung pemerintah,” ujarnya.
Musibah bencana banjir di Kabupaten Bandung menjadi perhatian banyak orang. Relawan dan Pejabat pemerintahan berdatangan meninjau ke lokasi bencana untuk memberikan bantuan. Pejabat Derah, Provinsi sampai Pemerintah Pusat hadir memeberikan bantuannya dari mulai pakaian, sembako, materi dan support kepada para koban banjir.
Segera Mengungsi Ketika Banjir Tiba
Melelui Hermawan, BPBD menghimbau agar masyarakat tetap meningkatkan kapasitasnya dan mampu bertahan dalam kondisi apapun saat musim hujan dan banjir tiba. “Kalau memang tidak bisa pindah. Bisa pindah lebih baik, tidak bisa pindah berharmoni dengan bencan.”
Masyarakat harus menyiapkan enam langkah bencana yang baik. “Ketika tidak mampu pindah rencanakan evakuasi, persiapkan bekal evakuasi, pastikan medapatkan informasi terkkini tentang bencana, satukan dokumen penting dalam satu file yang aman, mengungsi saat terjadi bencana dan memahami zona atau titik evakuasi.” tutupnya.
Seperti yang dilakukan Edi Suganda (67) warga Cigosol, ketika hujan deras turun dan Sungai Citarum mulai meluap ia dan keluarga langsung mengungsi. Ia mengatakan dirinya telah melakukan persiapan sebelum banjir tiba. “Saya sudah mempersiapkan semuanya dari jauh-jauh hari dan mengamankan semua dokumen penting dri mulai Ijasah, Kartu Keluarga, Surat Tanah dan lain-lain,” ungkapnya.
Meski banjir setiap tahunnya terjadi dan menimpa keluarga kecilnya Edi, ia tak pernah menyalahkan pemerintah karena banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung merupakan suatu bencana yang tak bisa diprediksi.
“Bencana alam terjadi bukan disini saja, di Aceh, Jawa dan daerah lainya terjadi,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, biasanya orang yang menyalahkan pemerintah karena bencanai ini merupakan pndatang dan orang yang baru merasakan tidur di pengungsian. Tidak mendapatkan bantuanlah, makanlah atau apa itu biasanya yang mereka katakan.
Bagi kami yang sudah lama dan menjadi langganan banjir kami turut terimakasih kepada pemerintah karena telah memberikan bantuan kepada masyarakat seperti tenda-tenda pengungsian, makanan, pakaian, pengobatan gratis dan lainnya. “Ya, mau apalagi karena ini bencana alam yang tak dapat di prediksi.”
Selain itu Jajat (29), salah sopir angkot harus berhenti dulu menarik angkotnya karena akses Banjaran-Dayeuh Kolot terputus akses jalannya krena terkena genangan air. Saat banjir tiba Jajat menjadi penarik perahu demi menafkahi anak dan istrinya.
“Kalau tahun-tahun sebelumnya ketika banjir tiba saya pasti nganggur dan berhenti menarik angkot, semenjak saya membeli perahu pada saat banjir tiba saya berubah profesi menjadi penarik perahu,” ungkapnya.
Dari hasil tarikan perahunya Jajat mampu menafkahi keluarganya dan mengebulkan erus dapurnya. “Alhamdullilah, sekali narik dapat 3o ribu. Biasanya setengah hari bisa dapat 400 ribu,” ujarnya.
Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung tidak dijadikan susaah jika masyarakatnya mau bergerak, ketika perekonomian mereka tersendat karena banjir banyak yang bisa mereka lakukan. “Ada yang menjadi tukang perahu, memancing di genangan air banjir, menjadi tukang parkir atau pendorog mobil, mengumpulkan barang-barang bekas seperti pelastik bekas makanan. Itukan mempunyai nilai ekonomis dan akan membantu perekonomian mereka yang menjadi korban banjir,” tutup Hendrawan.
Petikan wawancara Kerteraharja dengan Direktur Wahana Lingkungan Jawa Barat (Walhi Jabar) Dadan Ramadan menyoal Banjir di Kabupaten Bandung via surat elektronik.
1. Penyebab bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung?
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan salah satu DAS Strategis di Jawa Barat yang sedang ditangani oleh Pemerintah Pusat dan Daerah dengan dukungan dana terbesar dibanding alokasi untuk daerah aliran sungai lainnya di Jawa Barat.
Wilayah DAS Citarum hulu adalah wilayah langganan banjir tahunan. Dari kajian Walhi Jawa Barat, banjir tahunan di wilayah Bandung Selatan (Cekungan Bandung) disebabkan oleh degradasi siklus hidrologi di DAS Citarum bagian hulu yang dialami oleh sungai Cikapundung, Citepus, Cirasea, Cipamokolan, Cidurian, Citarik, Cisangkuy, Ciminyak, Ciwidey, Cihaur dan anak-anak sungai lainnya.
Bukan karena faktor alam, banjir tahunan lebih diakibatkan karena salau urus wilayah yang dilakukan oleh pemerintah yang menimbulkan degradasi fungsi hidrologis DAS.
Degradasi fungsi hidrologi akibat alih fungsi lahan di das citarum yang terus bertambah di kawasan hutan dan luar kawasan hutan (perdesaan dan perkotaan) oleh permukiman, perumahan mewah, industri, dan sarana komersil lainnya. Berdasarkan perhitungan, luasan lahan kritis di cekungan Bandung mencapai 96.668,84 ha dan praktik alihfungsi lahan menghasilkan jumlah air limpasan mencapai 3.924 milyar meter kubik /tahun dan sedimentasi mencapai 8.207.387 atau 8,2 juta ton/tahun.
Namun hingga saat ini, bencana banjir yang terus menerus berlangsung setiap tahun belum terselesaikan. Beragaman intervensi kebijakan, program dan anggaran untuk Citarum sejak tahun 1980 sd 2014 tidak efektif dan gagal menjawab akar masalah yang sebenarnya.
Pemerintah gagal mencegah dan menyelesaikan banjir di Cekungan Bandung. Anggaran JICA sebesar 736 Milyar Tahun (1994-2008), ICWRMIP sebesar Rp 3,5 trilyun ditambah hampir Rp 6-9 milyar/tahun dana-dana CSR dikeluarkan belum membawa perbaikan dan pemulihan yang nyata.
Program penanganan Citarum hanya melanggengkan keberlanjutan proyek-proyek belaka. Program dan proyek2 Citarum hanya dilakukan dibadan sungai dalam bentuk rehabilitasi, normalisasi, pengerukan dll.
Proyek2 yang dijalankan hanya memindahkan banjir dari beberapa wilayah (Gedebage, Ranacekek, Majalaya dll) ke wilayah lainnya seperti Baleendah, Banjaran, Dayeuhkolot dan Bojong Soang bahkan sampai ke Kutawaringin. Proyek-proyek tidak menyentuh daerah2 tankapan air dibiarkan, alig fungsi lahan di Cekungan Bandung tidak dikendalikan.
2. Solusinya apa?
Harus berangat dari evaluasi mendalam proyek-proyek citarum sejak tahun 1980 sd 2014, seperti proyek pengendalian banjir Citarum hulu melalui JBIC, JICA, Kemenpu dan ICWRMIP yang didanai oleh utang ADB. Hingga Tahun 2014 Walhi Jawa Barat mencatat ada sekitar 2,2 Trilyun anggaran yang bersumber dari pemerintah pusat dan utang sejak tahun 1980 hingga skarang dikeluarkan.
Evaluasi juga program dan anggaran yang bersumber dari Pemerintah Provinsi Jabar dan Kabupaten Kota Yang selama dikeluarkan untuk menilai efektifitas dan keberhasilan program dalam penanganan banjir
Program ke depan harus diarahkan pada upaya pemulihan daerah-daerah tangkapan air melalui rehabilitasi lahan kritis bahkan restorasi, dan membangun partisipasi masyarakat memelihara dan menjaga kawasan.
Evaluasi kebijakan tata ruang wilayah di Cekungan Bandung ( Kota Bandung, Cimahi, Bandung Barat, Bandung dan Sumedang), harus ada upaya untuk menekan laju alih fungsi lahan resapan, pertanian, hutan dll. Harus ada kebijakan untuk stop pembangunan sarana komersil seperti industri, perdagangan mall, hotel apartemen baik di Bandung Utara maupun selatan.
Penting kebijakan dan program untuk mengedukasi warga agar mampu mengelola dan mengurangi produksi sampah yang setiap tahun di cekungan Bandung mencapai 4000 ton/hari.
3. Penanganan yang harus dilakukan?
· Banjir yang terjadi merupakan banjir tahunan, maka warga harus dibekali dengan kemampuan mtigiasi dan adaptasi banjir
· Untuk 4000 jiwa yang rumahnya terendam dan sering bolak balik ke tempat pengungsian setiap tahun saat musim penghujan maka pemerintah harus bertindak dengan pilihan-pilihan kebijakan yang adil dan tidak membuat warga semakin menderita diantaranya :
- Diajak relokasi dengan jaminan kesejahteraan dan kebahagiaan, bukan penderitaan lagi yang didapatkan
- Diajak dan difasilitasi membangun rumah2 ramah banjir sehingga mereka bisa beradaptasi dengan banjir yang ada
- Penting segera membangun sumur-sumur resapan di kawasan langganan banjir untuk memiminalisir volume air dan lumpur
- Segera lakukan rehabilitasi lahan kritis di kawasan tangkapan air dengan melibatkan petani2
- Fungsikan, keruk, rehabilitasi bekas-bekas sodetan yang saat ini biarkan, bisa berfungsi sebagai folder-folder alamiah yang bisa menampung dan berfungsi sebagai tanggul air sehingga bisa mengurangi volume air sungai yang meluap ke pemukiman
4. Pandangan Walhi Jabar mengenai Banjir yang terjadi di Kabupaten Bandung?
Seperti yang dijelaskan di awal banjir di Kabupaten Bandung, banjir tahunan yang sudah berlangsung hamper 34 tahun lamanya. Penyebabnya ya salah urus kawasan daerah aliran sungai, banyak kebijakan RT/RW Provinsi dan 5 kabupaten/kota yang mendorong alih fungsi lahan-lahan resapan dan hijau di Cekungan Bandung penyebab banjir tidak pernah terseleaikan
5. Himbauan atau pesan kepada Masyarakat?
Saat ini, banyak kelompok masyarakat yang sudah memiliki kepedulian dan bertindak nyata dalam memulihkan lingkungan hidup, melakukan rehabilitasi dan konservasi dan menangani banjir. Namun, mereka tidak didukung maksimal oleh pemerintah. Ke depan, warga atau masyarakat perlu terus diedukasi untuk menumbuhkan kesadaran akan penting dan wajib memelihara lingkungan. Perlu edukasi terus masyarakat dan pemerintah memfasilitasinya.
Namun, upaya masyarakat sebesar apapun, kalau pemerintahnya mengeluarkan kebijakan yang tidak mendukung upaya masyarakat, tidak melindungai lahan2 resapan/hijau, memperluas alih fungsi lahan, dan proyek2 infrastruktur hanya dilakukan di badan sungai saja maka tetap akan sia-sia saja. Kuncinya ada di pemerintah mau menyelesaikan masalah atau hanya bermain2 dengan proyek2 saja